BREAKING

Minggu, 23 Januari 2011

Mengembangkan UMKM Berbasis Kompetensi

SEJUJURNYA saya dibuat gelisah dengan kompetensi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Indonesia.Ada yang kualitasnya sudah kelas global, patut disyukuri dan tentunya tugas kita semua untuk memperbanyaknya. Namun, harus diakui jujur, jumlah yang belum siap menghadapi persaingan global masih lebih banyak.

Inilah masalah kita semua; pemerintah, Kadin, perbankan, perguruan tinggi, dan stakeholders terkait lainnya. Bagaimanapun globalisasi ekonomi akan menjadi ”monster buas” pemakan UMKM. Padahal,UMKM adalah pelaku mayoritas ekonomi nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir menyebutkan ada 51,3 juta unit usaha atau 99,91 persen dari pelaku usaha di Indonesia. Artinya,keguncangan kepada UMKM akan sangat mengganggu denyut nadi ekonomi bangsa ini. Dari sisi penyerapan tenaga kerja juga terbanyak, 90,9 juta pekerja atau 97,1 persen.

Jika sampai ”monster globalisasi” memakan UMKM,ada puluhan juta anak bangsa yang nasib kesejahteraannya dipertaruhkan. Selain itu, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) juga mencapai Rp2.609,4 triliun atau 55,6 persen dari total PDB nasional. Demikian halnya, nilai investasi yang cukup signifikan, Rp640,4 triliun atau 52,9 persen. Penciptaan devisanya pun mencapai Rp183,8 triliun atau 20,2 persen. Sebuah angka ekonomi yang menunjukkan betapa strategisnya UMKM bagi perekonomian nasional.

Beyond Mitos

Diskusi kami dengan pelaku UMKM dan para ekonom berkesimpulan, kita semua harus keluar dari mitos bahwa UMKM akan bertahan sebagaimana posisinya ketika terjadi krisis. Fakta itu memang benar adanya. Namun, jangan menjadi mitos sehingga kita semua, stakeholders, tidak berbuat banyak. Untuk menghadapi globalisasi, meningkatnya kompetensi UMKM adalah harga mati. Saya justru menduga, angka ekonomi UMKM yang disebutkan di atas adalah hasil murni apa yang dilakukan mereka selama ini.Atau kalaupun ada pengaruh kebijakan dan upaya pemberdayaan, masih belum besar. Memang belum ada riset yang menggambarkan ini.

Namun, secara sederhana dapat kita lihat betapa masih banyak UMKM selama ini seperti rumput liar tak terurus. Ada yang terurus, tapi terlalu banyak yang mengurus dengan berbagai insentif yang banyak juga. Ini terjadi karena tidak adanya database UMKM yang terpusat dan menjelaskan lembaga mana yang membina UMKM mana. Meski demikian, masih tersisa ruang optimisme. Survei HSBC 2010 yang baru-baru ini dirilis menyatakan, 70% UKM percaya ekonomi Indonesia akan stabil atau justru meningkat. Sementara 73% UKM berencana mempertahankan, bahkan menambah investasi.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, 96% UKM tidak memiliki rencana untuk mengurangi karyawannya, bahkan 20% di antaranya berencana menambah jumlah karyawan. Dari sisi transaksi internasional, kebutuhan UKM untuk melakukan transaksi internasional dalam dua tahun ke depan akan meningkat sebanyak 11%.

Dari Warisan Menuju Inovasi

Ketika kami berkunjung dan berdiskusi dengan UMKM yang sukses, ada beberapa kata kunci yang dapat diambil. Salah satunya adalah betapa banyak UMKM yang hanya mengandalkan kemampuan berdasarkan warisan, apa yang diajarkan orang tua atau pelaku usaha awal.Inovasi dan manajerial usaha yang bagus masih jauh. UMKM yang sukses selalu mampu keluar dari pola lama warisan ke inovasi dan pengembangan kompetensi. Karena itu, ada beberapa hal yang wajib dipenuhi agar kompetensi UMKM terpenuhi. Pertama, manajerial yang baik.

Sesederhana apa pun, manajerial adalah kata kunci, secara individu maupun organisasi, ketika hendak meraih kesuksesan. UMKM harus mau belajar dan bagi yang telah sukses, mau berbagi. Stakeholders terkait harus bergerak memberikan edukasi dan berbagai pelatihan untuk mendorong agar terpola sistem manajerial UMKM yang baik. Kedua, jejaring (networking) yang luas. Soal ini bisa dilakukan dengan membangun komunitas dan sering ikut dalam berbagai pameran. Ketiga, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi sangat erat kaitannya dengan jejaring, promosi, pelayanan dan kualitas produk. Keempat,inovatif menciptakan produk potensi lokal sebagai keunggulan usaha. Kita banyak melihat ke luar dibanding ke dalam. Padahal banyak potensi lokal yang bisa dikembangkan.

Hanya saja, problemnya di pemasaran dan kemasan. Kelima, membangun pasar bagi produk unggulannya. Untuk membangun potensi lokal tersebut, ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan. Pertama, pengembangan program One Village One Product (OVOP). Pengembangan ekonomi komunitas berdasarkan potensi ekonomi dan produk daerah tersebut. Kedua, memberikan pelatihan pembina (konsultan diagnosis/ pembimbing) UKM guna membina perbaikan manajemen UKM. Ketiga, meningkatkan kemitraan antara BUMN,BUMD, atau swasta dengan UKM.Keempat, pemerintah daerah dan stakeholdersdaerah memberi dukungan brand lokal menjadi brand nasional bahkan internasional.Untuk itu harus dilakukan penguatan sinergi antara pemerintah dan UMKM untuk mengangkat potensi lokal.

Dari sisi pembiayaan, peran Bank Perkreditan Daerah dalam intermediasi perlu ditingkatkan. Dari sisi kesiapan dan kesinambungan pengembangan produk lokal diperlukan upaya pengembangan keterampilan generasi muda daerah agar mampu mendukung UMKM untuk peningkatan ekonomi lokal. Di luar itu semua, ini merupakan peran pemerintah pusat atau daerah yang juga harus didukung swasta, adalah percepatan pengembangan infrastruktur di daerah.Karena problem UMKM di daerah yang paling menonjol adalah kesiapan infrastruktur yang selama ini cukup membebani biaya operasional UMKM.

Saya menyadari, kecemasan hanya akan sekadar kecemasan tak bermakna jika kita semua tidak bergerak dari sekarang dan dari hal yang mungkin dilakukan.Mari bersinergi dan menentukan apa yang harus masing-masing kita lakukan. Ini penting, karena selama pola pemberdayaan UMKM masih tumpang tindih, saudara kita itu sulit bertumbuh. (*)

Sandiaga S Uno
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang UMKM dan Koperasi
Sumber : okezone.com

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 ThamrinCity
Design by FBTemplates | BTT
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube